Sunday, January 20, 2013

Murai Batu Butuh Adaptasi


Makin banyaknya jumlah murai batu hasil penangkaran tak menurunkan popularitas murai batu tangkapan dari hutan. Justru murai batu asli dari hutan terus menjadi buruan di pasar-pasar burung.

Hal ini tidak lepas dari anggapan bahwa murai batu tangkapan dari hutan lebih memiliki sifat petarung dibandingkan hasil penangkaran. Padahal anggapan ini tidak sepenuhnya terbukti. Bahkan kalau dipegang oleh orang yang tidak pandai menangani, murai asal hutan bisa salah urus. Masalah seperti ini sering muncul pada murai batu muda hutan yang baru didatangkan dari distributor.

“Dulu induk murai saya beri voer dan enggak pernah berproduksi. Baru setelah saya ganti full ulat, cacing dan jangkrik, murai itu bisa berproduksi,” kata seorang pe­nang­kar murai batu asal Klaten, Misbun Winasis, pekan lalu.

Si penangkar memang mengandalkan beberapa ekor murai batu tangkapan hutan sebagai induk. Dari pengalaman itulah dia tahu bahwa murai batu yang baru saja datang dari tangkapan tidak selalu cocok dengan makanan sejenis voer.

Prinsip serupa juga berlaku bagi murai batu muda hutan yang baru saja didatangkan. Layaknya makhluk hidup lainnya, murai muda hutan juga butuh waktu beradaptasi, mulai dari habitat baru hingga makanan baru. Karena itu jika tidak diberi waktu beradaptasi, murai muda hutan bisa jadi stres, enggan makan, enggan berkicau dan bisa berakhir dengan kematian.
“Untuk murai muda, jangan langsung diberikan jangkrik. Jangkrik tidak bagus karena agak susah dicerna oleh burung baru,” kata Wawan, perawat burung yang selama ini bertugas merawat Natalia, murai batu asal Kampung Sewu yang beberapa tahun terakhir langganan juara.
Menurut Wawan, murai batu muda hutan butuh waktu untuk beradaptasi dengan makanan ”keras” seperti jangkrik. Setidaknya selama satu pekan pertama, murai muda cukup diberi kroto dan sedikit ulat balap. Kedua suplemen ini bisa sering-sering diberikan dan biasanya murai batu sangat menyukainya. Jika diperlukan, pemilik juga bisa memberinya voer. Namun pakan yang paling utama diberikan adalah kroto dan ulat.
“Baru setelah satu pekan murai bisa diberi jangkrik. Jika sudah cocok, banyak jangkrik juga tidak apa-apa, bisa saja diberi 15-20 ekor sehari,” terang Wawan, Jumat (10/8).
Mandi Rutin
Prinsip kedua dalam merawat burung dari hutan adalah adaptasi lingkungan. Di alam, murai batu memang tidak mengenal ritual mandi rutin seperti halnya di tangan pehobi. Menurut Wawan, murai batu muda yang baru datang tidak boleh langsung digarap seperti burung peliharaan lainnya. “Intinya enggak boleh dimandikan dulu.”
Selain tidak boleh langsung dimandikan, murai batu muda lebih banyak ditempatkan dalam sangkar berkerudung. Bahkan dalam kondisi ini burung bisa full dikerudungi. Agar aliran udara masih lancar, kerudungnya tidak perlu tebal, tapi cukup yang tipis.
Karena burung sedang dalam tahap adaptasi, penempatan sangkar pun perlu diperhatikan mengingat burung masih takut jika bertemu dengan manusia. Pada masa ini, sangkar burung perlu ditempatkan lebih tinggi dari pada manusia. Setelah tidak banyak bereaksi terhadap manusia, baru ketinggian sangkar bisa diturunkan.
Prinsip ketiga, burung asal hutan memiliki sifat yang galak atau ganas. Biasanya dia menganggap manusia atau makhluk lain sebagai ancaman. Sifat ini sebenarnya alami dan hanya butuh waktu untuk beradaptasi. Jika sudah beradaptasi, murai batu muda bisa lebih jinak.


http://www.koran-o.com/2012/klangenan/murai-batu-butuh-adaptasi-26996

0 comments:

Post a Comment

 
 
Copyright © seputar info burung
Blogger Theme by Blogger Designed and Optimized by Tipseo