Saat ini sudah berbeda dengan jaman dulu. Di pasar burung manapun atau di para pengepul burung murai tangkapan hutan, kebanyakan burung murai batu asal Sumatera yang dijual terlihat mulus-mulus bulunya. Bulu sayap rata-rata utuh. Paling banter tercerabut ekornya. Tetapi entah mengapa, banyak di antara burung itu tidak bisa bertahan hidup lama. Paling banter satu hingga dua bulan, menemui ajal.
Gejala yang ditunjukkan sama. Awalnya burung-burung itu mau makan dengan lahap kroto, jangkrik atau ulat yang disediakan. Namun berselang sepekan dua pekan, akan menunjukkan gelagat berkurangnya nafsu makan. Lama-lama burung terlihat lemas dan kemudian tidak mau nangkring di tangkringan. Dan akhirnya tidak terselamatkan…
Apakah burung-burung itu ditangkap dengan cara diberi umpan pakan yang dicampur zat tertentu sehingga membuat mereka mabuk sempoyongan atau tertidur sehingga bisa dengan mudah ditangkap, baru setelah itu dicekoki air atau zat penawar sehingga bisa sadar kembali? Pertanyaan ini terlintas manakala ingat cerita cara penangkapan ikan napoleon atau ikan hias air laut menggunakan apotas. Ikan yang terkapar megap-megap terkena racun apotas, bisa hidup lagi setelah dimasukkan ke air laut yang segar tak berapotas.
Kalau saat ini masih sering terjadi penangkapan burung dengan cara diberi umpan berkail, dan jika burung-burung murai batu bakalan yang banyak dijual di pasar itu dijerat dengan umpan berkail, tentu akan terlihat ada kail ketika burung yang mati diotopsi/dibedah. Nyatanya, pada burung-burung bakalan yang mati saat ini tidak ditemukan mata kail di dalam kerongkongan atau alat pencernaannya.
Pertanyaan itu terus mengganggu di benak saya. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya berharap ada teman kicaumania yang tahu cara penangkapan burung-burung murai batu di hutan yang dilakukan saat ini dan bukan cara-cara di waktu lalu.
Jika sobat punya pengalaman dengan burung murai batu bakalan hutan pada beberapa waktu terakhir ini, silakan sharing pengalaman di sini.
0 comments:
Post a Comment